Setelah Lebaran, sebagian besar dari kita sudah jarang melihat rendang dan ketupat di meja makan. Begitupun dengan mobilitas. Sebagian besar dari kita sudah kembali dengan kesibukan di kota masing-masing. Kembali normalnya aktivitas ini memberi dampak signifikan pada penurunan inflasi Indonesia. Sebelumnya di 3% (YoY) pada April, turun menjadi 2,8% pada Mei. Secara bulanan (m/m), Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat mengalami penurunan kecil sebesar -0,03%, menandai deflasi bulanan pertama dalam sembilan bulan terakhir. Deflasi ini kontras dengan tingkat inflasi sebesar 0,1% yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.

Penurunan ini dapat dikaitkan dengan beberapa faktor utama, termasuk normalisasi permintaan pasca-Idul Fitri dan penurunan harga makanan, terutama untuk beras, cabai, dan daging ayam. Beras, sebagai bahan pokok Indonesia, mengalami deflasi sebesar -3,6% m/m, berkontribusi signifikan terhadap deflasi keseluruhan. Penurunan ini terjadi dikarenakan kebijakan pemerintah untuk memperpanjang relaksasi harga eceran tertinggi (HET) beras hingga Mei.

Normalisasi tarif transportasi setelah periode Idul Fitri juga memainkan peran penting dalam deflasi yang diamati pada Mei. Biaya transportasi, terutama untuk transportasi antar kota, tarif udara, dan tarif kereta api, biasanya melonjak selama musim liburan karena meningkatnya permintaan. Ketika mobilitas kembali ke tingkat normal setelah liburan, tarif ini menurun, berkontribusi pada tren deflasi secara keseluruhan.

Meskipun ada penurunan inflasi saat ini, beberapa faktor dapat mempengaruhi harga inflasi di masa depan. Seperti saat ini terjadi depresiasi Rupiah, yang telah melemah sebesar 5,4% sejak awal tahun, menimbulkan tantangan signifikan. Indonesia termasuk negara importir bahan bakar dan bahan baku. Kita membayar import dengan mata uang USD. Dengan melemahnya nilai tukar Rupiah, maka biaya barang impor meningkat. Ini dapat menyebabkan inflasi dorongan biaya jika  pebisnis membebani biaya ini ke konsumen.

Simpan views:

Kami melihat inflasi saat ini dan kebijakan moneter Bank Indonesia, yang mempertahankan suku bunga acuan di 6,25%, dapat menghasilkan imbal hasil riil yang tinggi dan berdampak positif terhadap portofolio. 

Hal ini juga menandakan jika inflasi di Indonesia sangat terkendali dan harga-harga yang berada di Indonesia masih terjangkau sehingga dapat meningkatkan daya beli konsumen. Berbeda dengan inflasi di Amerika Serikat yang saat ini cukup tinggi sehingga Pemerintah dan Bank Sentral mencoba untuk mengendalikannya ke target mereka di 2%.

Normalcy Returns: Rendang and Ketupat No Longer Rule the Table

In the aftermath of Eid al-Fitri, rendang and ketupat, two staple dishes associated with the holiday, are becoming less frequent on Indonesian dining tables. This reflects a broader trend as people return to their busy lives in various cities. This normalization of activities has had a significant impact on lowering Indonesia's inflation rate. After reaching 3% (YoY) in April, it declined to 2.8% in May. On a monthly basis (m/m), the Consumer Price Index (CPI) recorded a slight decrease of -0.03%, marking the first monthly deflation in the past nine months. This deflation contrasts with the inflation rate of 0.1% recorded in the same period last year.

This decline can be attributed to several key factors, including the normalization of demand post-Eid al-Fitri and a decrease in food prices, particularly for rice, chili peppers, and chicken. Rice, a staple food in Indonesia, experienced a deflation of -3.6% m/m, significantly contributing to overall deflation. This decline was attributed to the government's policy of extending the relaxation of the highest retail price (HET) for rice until May.

The normalization of transportation fares after the Eid al-Fitri period also played a crucial role in the deflation observed in May. Transportation costs, particularly for intercity transportation, airfares, and train fares, typically surge during holiday seasons due to increased demand. As mobility returns to normal levels post-holiday, these fares decline, contributing to the overall deflationary trend.

While there is a current decline in inflation, several factors could influence future inflation rates. The ongoing depreciation of the Rupiah, which has weakened by 5.4% since the beginning of the year, poses a significant challenge. Indonesia is an importer of fuel and raw materials. These imports are paid for in USD. As the Rupiah's exchange rate weakens, the cost of imported goods increases. This could lead to cost-push inflation if businesses pass on these costs to consumers.

Investment Implications

Despite the current decline in inflation, we observe that the current inflation rate and Bank Indonesia's monetary policy, which has maintained the benchmark interest rate at 6.25%, could result in high real yields and have a positive impact on portfolios. This also indicates that inflation in Indonesia is well-controlled, and prices remain affordable, potentially boosting consumer purchasing power. This contrasts with the inflation in the United States, which is currently quite high, prompting the government and central bank to try to control it to their target of 2%.