Imposter Syndrome: Bahaya untuk Keuangan?
Ketik. Delete. Ketik. Delete.
Untuk memulai merangkai kalimat pembuka di blog ini, saya butuh waktu sepuluh menit sendiri. Ini pertama kalinya saya menulis blog untuk dipublikasikan di Simpan. Sebelumnya, blog Simpan diisi oleh tulisan dengan topik solid tentang pengelolaan dana dan investasi dari Co-Founders Simpan, Julian & Nick. Ini membuat saya merasa saya harus membagikan blog yang juga solid. Atau setidaknya, relatable.
Lucunya, topik yang mau saya bicarakan inilah yang membuat saya menghabiskan waktu menekan tombol “Delete” setiap kali saya merangkai kalimat: Impostor syndrome. Sindrom yang saya alami sejak masuk ke dunia profesional. Mungkin sebagian dari Anda juga merasakan ini dalam keseharian.
Tahun 2020 saya masuk ke industri baru dengan peran baru. Ini sempat membuat saya meragukan kemampuan saya. Akhirnya, saya jadi tidak melihat nilai lebih yang dapat saya berikan dalam pekerjaan saya.
Setelah saya amati, ada empat potensi kerugian yang cukup berpengaruh terhadap keuangan dan kesehatan kita.
1. Mengurangi potensi pemasukan
“Sepertinya saya kurang layak untuk dapat posisi manajemen”
Sindrom ini menghalangi kita untuk menerima kesempatan baru dan peningkatan jenjang dalam karir yang sebetulnya dapat meningkatkan income/pendapatan. Padahal, dengan meningkatkan pemasukan, kita jadi punya kesempatan untuk menabung lebih banyak, sehingga dapat mencapai goal lebih cepat, atau kita dapat menentukan goal yang lebih besar.
2. Menurunkan nilai kita saat wawancara pekerjaan
“Jadi, apa saja kelebihan Anda?”
Dulu, saya sering menjawab dengan sangat rendah hati, sampai terdengar meremehkan kemampuan saya. Ini membuat saya jadi tidak percaya diri untuk negosiasi gaji. Kemudian lagi-lagi, potensi memiliki pendapatan yang sesuai menjadi hilang.
3. Bekerja berlebihan
“Aku harus tunjukkan ke kantor kalau aku ini berharga. Nggak apa-apa lembur.”
Jika ada teman-teman yang memiliki pola pikir ini, segera klik “delete”. Kita adalah manusia dengan banyak mimpi dan setiap hari merasakan emosi. Tentu kita butuh menjaga keseimbangan hidup dan pekerjaan, agar kita tidak jatuh sakit baik fisik maupun mental. Jika kita terus memaksakan diri sampai jatuh sakit, bisa jadi kita harus mengeluarkan uang untuk penyembuhan dan bukan untuk liburan ke Bali.
4. Main aman, tidak mencari kesempatan lain untuk mengembangkan uang.
“Ah aku nggak ngerti investasi. Udahlah, deposito bank aja.”
Tidak hanya dalam pekerjaan, terkadang kita meragukan kemampuan kita di area lain dalam hidup kita. Padahal, manusia selalu dapat belajar hal baru, misalnya belajar mengembangkan kekayaan kita. Apalagi dengan adanya investasi reksa dana, kita dibantu oleh Manajer Investasi untuk mengelola dana kita. Untuk itu, kita dapat memilih Manajer Investasi yang juga memberikan pengetahuan dan informasi berarti tentang di mana dan bagaimana uang Anda dikelola.
Semoga blog ini bisa jadi pengingat, terutama untuk saya, bahwa wajar untuk memiliki keraguan, tapi jangan sampai itu menghalangi kita mencapai goal. Ok, saatnya “delete” impostor syndrome.
The author is Brand Manager of Simpan. Jesika is a film graduate from Universitas Multimedia Nusantara. For the past 10 years, she has been working in several industries, from media to FMCG. Since 2020, she has started to build her career in capital market industry as a marketing talent and has been certified as Wakil Agen Penjual Reksa Dana.